BAHAGIA DI JALAN YANG LURUS

 

 

Tiga Kunci Hidup Bahagia – Kissparry

 BAHAGIA DI JALAN YANG LURUS


Sepanjang perjalanan hidup, manusia akan senantiasa memburu yang dinamakan kebahagiaan. Berbagai hal dilakukan hanya untuk mencapai satu titik yang disebut bahagia. Waktu juga banyak dikorbankan untuk melakukan berbagai aktivitas dengan harapan bahagia bisa direngkuh. 

Orang bekerja membanting tulang siang malam demi mencukupi kebutuhannya dan berharap bahagia. Seorang pelajar akan bersungguh-sungguh berlah-lelah dalam belajar juga dalam rangka mencapai bahagia. Semua orang berburu bahagia dengan takaran dan kapasitasnya masing-masing.

Diburu sepanjang waktu oleh seluruh manusia lantas si bahagia itu di mana? Sebagian orang rela bergadang sampai pagi, nongkrong di cafe mencari bahagia. Para pendaki berjalan menyusuri jalanan yang terjal mencapai puncak gunung untuk mendapatkan kebahagiaan. Begitu seterusnya manusia melakukan berbagai aktivitas yang diharapkan memunculkan kegembiraan yang berujung bahagia.

Orang senantiasa membandingkan kebahagiaan dirinya dengan orang lain. Ketika dia mencapai kepuasan, melihat orang lain lebih berhasil,dia akan tertantang untuk mencapai seperti yang orang lain tersebut capai. Sebuah pesan tua   bergema, bahwa Urip iku wang sinawang ( hidup itu saling menilai dan memandang kenyamanan orang lain). Padahal orang yang dipandang bahagia dan nyaman oleh orang lain juga mengalami keluhan. Bahkan dia berucap penak sing nyawang ( enak yang memandang).

Orang pas-pasan akan mengukur kebahagiaan melihat orang yang memiliki harta dan jabatan. Selalu berujar enak ya kalau hidup bisa seperti itu. Orang-orang yang berharta banyak dan punya jabatan juga akhirnya membandingkan enak ya hidup seperti rakyat kecil yang tidak banyak tuntutan dan bisa bercanda ria di mana-mana. Bahagia seolah berada pada satu titik yang tak berujung terus berputar silih berganti.

Seorang bijak dari Jawa Ki Ageng Surya Mentaram mengingatkan tentang sikap hidup, dalam salah  wejangannya tentang kawruh jiwa kramadangsa,yaitu nyawang karep. Orang senantiasa ditarik proses hidupnya dalam karep atau keinginan yang tak berujung. Selama manusia masih berpusat pada karep atau keinginan, maka dia tidak akan pernah mencapai hidup bejo atau beruntung, begitu menurut beliau.

Manusia yang bisa menentukan titik sudah atau sak menewae,  orang tersebut yang bisa mencapai rasa bahagia. Kuncinya adalah roso nerimo menurut beliau, yaitu menerima apapun yang diberikan pada kita. Tanpa berusaha membanding-bandingkan dengan apa yang diterima oleh orang lain. 

Manusia yang bisa mengendalikan rasa inginnya akan mencapai kepuasan. Wejangan beliau telah menjadi acuan bagaimana orang bisa sehat secara mental dalam pandangan orang Jawa. Landasan tersebut seolah menggetarkan kembali  konsep Urip sing sak madyo, yang berarti secukupnya saja atau sewajarnya saja. 

Orang yang sehat secara mental ternyata adalah orang yang bisa menerima. Mengacu pada konsep yang disampaikan oleh Ki Ageng Suryo Metaram tersebut. kepuasan kejiwaan menjadi lebih mudah didapatkan ketika orang bisa menerima. Bahagia di dunia bukan angan-angan lagi, ketika orang sudah tidak terombang-ambing dalam keinginan yang tiada habisnya.

Merenung lebih jauh ketika kita bisa mencapai bahagia di dunia, apakah juga akan mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Bukankah kita sering meminta melalui doa sapu jagat yaitu bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Lantas ada pejalan kehidupan lain yang bertanya, terus bagaimana caranya agar bisa bahagia di dunia dan juga di akhirat.

Jalan Kebahagiaan

Hukum tua kehidupan menyebutkan, bahwa orang akan mencapai bahagia ketika hak dan kewajibannya berimbang. Hal ini juga tergambar jelas dalam keseharian. Orang merasa tenteram ketika hidupnya tidak menabrak larangan, serta berjalan diatas aturan. Begitu juga dalam sudut pandang spiritual ternyata kebahagiaan bermula dari berlakunya hak dan kewajiban. Hal ini dilandaskan dalam Quran surat al-fatihah ayat 5 sampai 7, begitu sering diulas dalam Sekolah Kehidupan. Sebuah jalan untuk terlepas dari jerat penderitaan.

Quran surat al-fatihah ayat 5 membicarakan tentang posisi hamba dengan pencipta beserta hak dan  kewajibannya. " Hanya kepada Engkau kami menyembah, dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan". Sebuah komitmen yang dibangun bahwa hanya kepada Tuhan Yang Esa kita beribadah dan hanya kepadaNya kita mohon pertolongan. Di sini kita bisa tadaburi, bahwa ketika hak mengabdi kita lakukan maka, pertolongan Allah pasti akan datang. Jangan jadi hamba yang kurang ajar menuntut haknya untuk ditolong terus-menerus tetapi tidak mau melaksanakan kewajiban. Kata hanya menandaskan tiada yang lain. Ketika seseorang telah berkomitmen secara total,dan tidak bercabang-cabang, barulah dia disebut hamba yang taat.

Ayat ke-6 dari surat al-fatihah adalah permohonan seorang hamba yang tulus, agar ditunjukkan dan dibimbing di jalan yang lurus. "Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus".  Disambung di ayat 7,  apa itu jalan lurus?"yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat,  bukan jalannya orang-orang yang tersesat dan dilaknat ". Bukankah kita semua tahu,  bahwa orang yang dikarunia kenikmatan maka hidupnya akan berada dalam kebahagiaan. Jaminan kebahagiaan yang tidak hanya di dunia saja tetapi sampai di alam akhirat. Karena formula ini yang memberikan adalah dari Allah Sang  Pencipta, pasti menjadi jalan mengoperasikan sarana kegembiraan yang kita bahas sebelumnya.

Disinari oleh cahaya pemahaman yang indah akan jalan kebahagiaan. Maka mari kita merenung dan mengevaluasi diri bagaimana hidup kita selama ini. Sudahkah kita berjalan dalam jalan yang lurus yang ditunjukkan oleh Allah melalui para utusannya. Ataukah kita masih berjalan di jalan bengkok yang diciptakan oleh hamba-hamba yang juga sedang mencari, di mana jalan lurus itu. Masih tidak sadarkah kita bahwa waktu kita terbatas kalau hanya untuk coba-coba. Jangan sampai kita salah jalan, karena bukan bahagia utuh ( dunia-akhirat) yang kita dapat. Tapi kesengsaraan yang tak berujung. Sudah sadarkah kita akan hal ini?

Wallahualam bish-shawab

 

Desa Menari, 18 Januari 2023

Kang Tris

Murid Sekolah Kehidupan


Posting Komentar untuk "BAHAGIA DI JALAN YANG LURUS "