MENUA, MENUNDUK, MENGENDAP
Hari ini tepat dua tahun berpulangnya budayawan Indonesia sang penggoda Indonesia Pak Prie GS. Hidup beliau dalam usia yang relatif singkat dan puncak-puncak produktif dalam karya, di usia 56 tahun , beliau dipanggil oleh Allah SWT untuk menetapi jatah umurnya di dunia. Hidup beliau laksana sebatang padi yang betul-betul berkualitas semakin tua semakin berisi.
Kita bisa mengambil saripati hikmah dari perjalanan hidup beliau yang luar biasa dan memberikan dampak pada pertumbuhan kejiwaan masyarakat secara luas. Salah satu ungkapan beliau sangat mengena pada momen mengenang berpulangnya beliau adalah " menua, menunduk,mengendap.Tanpa ketiganya menjadi tua hanyalah tambah usia".
Meresapi pada pesan beliau ini adalah sebuah garis kehidupan yang nyata bahwa menua itu pasti. Seberapapun upaya yang kita lakukan untuk menolak tua yang ada hanyalah kesia-siaan karena kita menolak kodrat dari Yang kuasa. Pilihan yang bisa dilakukan hanyalah bagaimana kita menjalani dan mengisi menuju tua itu apakah dengan hal yang bermanfaat ataukah dengan hal-hal yang sia-sia. Hal ini ditegaskan secara lugas oleh Imam Syafi'i RA "jika anda tidak menyibukkan diri anda dengan kebenaran, maka Ia akan menyibukkan anda dengan kebatilan". Jangan sampai kita terjebak pada pepatah tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi. Pepatah ini tentu lebih dimaknai secara umum dalam konotasi negatif, yaitu orang yang umurnya bertambah tua tetapi kelakuannya tidak bertambah semakin baik.
Bertambahnya tua usia seseorang harusnya semakin berisi ibarat padi semakin menunduk. Maka pesan tersirat kedua pak Prie GS adalah menunduk. Menunduk secara kejiwaan membuktikan kematangan seseorang. Artinya semakin bertambah usia seharusnya kita semakin bisa menundukkan ego kita. Karena ego ini yang menjadi selubung atau hijab kita dalam menjalani proses kehidupan yang semakin baik. Menunduk dalam arti spiritual juga berarti semakin bertambah usia harusnya semakin bertambah ketundukan kita ketaatan kita kepada sang pencipta. Orang yang bisa menunduk yang akhirnya dia bisa mengendap.
Orang yang mengendap adalah orang yang kualitas kejiwaannya betul-betul sudah matang. Bukankah kita diingatkan kepada pepatah air beriak tanda tak dalam. Orang yang masih dikuasai oleh egonya dia merasa benar merasa baik dan merasa hal yang dirinya senantiasa unggul justru menunjukkan riak-riak pada dirinya yang menandakan bukan kedalaman yang ada dalam jiwanya. Bukankah dalam kedalaman samudra kita akan menemukan pesona keindahan penciptaan. Maka orang yang sudah mengendap kejiwaannya akan menjadi sumber kebaikan hikmah dalam kehidupan ini.
Pesan beliau pada ungkapan terakhir bahwa ketika seseorang tidak memiliki ketiganya menjadi tua hanyalah tambah usia. Hal ini sebenarnya sebuah godaan dari beliau sebagaimana dalam falsafah Jawa bahwa orang itu semakin tua itu harus memiliki dua hal, yaitu tutur dan sembur. Orang semakin tua harusnya tuturnya atau perkataannya menjadi petuah bagi generasi berikutnya serta menjadi teladan yang baik. Setiap ungkapan kata yang terucap dari dirinya adalah kebajikan dan hikmah dalam kehidupan.
Orang dikatakan tua dalam falsafah Jawa juga dalam hal sembur. Sembur dalam arti harfiah adalah pengobatan yang dilakukan oleh orang-orang tua dengan menyemburkan ke ubun-ubun orang lain setelah dia berdoa. Artinya orang semakin matang kejiwaannya menjadi muara juga orang-orang untuk meminta doa meminta berkah menandakan bahwa hidupnya penuh dengan kualitas. Di desa utamanya pada masa-masa dulu orang-orang yang didatangi untuk dimintai doa tentunya orang-orang yang memang dipandang sepuh secara kualitas kejiwaan oleh orang masyarakat setempat.
Lantas bagaimana agar kita menjadi orang yang seperti di pesantren beliau menua menunduk dan mengendap. Bukankah Allah subhanahu wa ta'ala sudah memberikan wasiat kepada kita untuk berbekal dalam hidup ini. " Berbekalah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa ( QS. Al Baqarah: 197). Bukankah salah satu definisi taqwa adalah meningkatnya kebaikan. Maka orang yang sadar bahwa hidupnya pasti menua Dan akhirnya akan kembali kepada sang kuasa dia senantiasa berusaha untuk meningkatkan kebaikan-kebaikan dalam hidupnya. Baik kebaikan secara pertumbuhan spiritual kejiwaan maupun kebaikan dalam hubungan sosial dan mengelola kehidupan ini. Maka orang yang bertaqwa adalah orang yang dengan sepenuh kesadaran bahwa hidupnya harus belajar dan bertumbuh dalam kehidupan. Maka mari bersama berproses untuk menua menunduk dan mengendap dalam sekolah kehidupan ini.
Wallahualam bish-shawab
Desa Menari, 12 Januari 2023
Kang Tris
Murid Sekolah Kehidupan
Sungguh ber padi bkan sekedar kuantitas...
BalasHapus