RUANG TUMBUH KEIKHLASAN
Hiduplah dengan santai, begitu seorang guru kehidupan membuka obrolan. Kita sering terombang-ambing dalam dilema karena memasuki wilayah yang bukan wewenang kita. Memastikan masa depan itu hak prerogatif Allah SWT. Tapi, manusia sekarang sering pingin melampaui wilayah Sang Pencipta. Sehingga dirinya mendikte kehidupan harus seperti keinginannya.
Merencanakan kehidupan itu boleh, beliau melanjutkan. Tapi kalau sudah mengharuskan, hidup menjadi tegang. Seperti tali yang ditarik kencang. Justru kehilangan elastisitasnya. Manusia yang menegang juga rentan dan mudah rapuh. Bukankah kita pernah belajar tentang fleksibilitas?
Masih ingatkah pelajaran tentang mulur mungkret dari Ki Ageng Suryo Metaram? Seolah beliau sedang menguji kami dalam ruang sidang. Bukankah hidup itu akan terasa penuh kejutan, karena kita bersahabat dengan fleksibilitas. Hidup memang harus mulur ( memanjang). Karena dengan prinsip ini, orang akan terus bisa bertumbuh.
Kemajuan zaman, karena daya mulur pikir manusia. Mereka bisa mensiasati kehidupan menjadi lebih mudah dengan sarana tekhnologi. Itu dikreasikan oleh orang-orang yang pikiran bisa mulur ( mengembang). Kita harus menghaturkan ta'dzim pada mereka. Berkat kegelisahan mereka, kita merasakan manfaatnya.
Tapi kok ya kadang kebablasan. Saking mulurnya, seolah semua harus direkayasa. Menuju idealitas yang diinginkan. Sayangnya, mereka malah jadi absurd. Pada awalnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melayani manusia. Kini kok malah banyak diantara kita yang terjajah oleh tekhnologi.
Perlu rasanya kita harus latihan mungkret ( menarik kembali atau mengerem sejenak). Agar kita bisa menjaga jarak dan menjaga kewarasan. Mungkret itu urusan hati. Masa untuk mengevaluasi dan mengendap. Agar kita tidak salah arah. Perlu memberikan kesempatan pada ruang batin untuk memimpin kembali perjalanan.
Tahukah kalian semua, ruang tumbuhnya keikhlasan? Letupan dari sang guru untuk melanjutkan pembelajaran. Fleksibilitas atau mulur mungkret itulah ruang subur keikhlasan. Karena mulur mungkret itu dialog akal dengan rasa. Simbol keikhlasan itu seperti tukang parkir.
Hidup tukang parkir tidak melekat pada materi atau pernak-pernik kehidupan. Karena dia sadar itu bukan miliknya. Ketika dititipi kendaraan mewah ( fasilitas dunia yang berlebih) dia biasa saja. Akan menjaga dengan sepenuh hati. Sadar juga kalau itu hanya sementara.
Saat yang diparkir kendaraan yang butut. Si tukang parkir juga akan menjaga sepenuh hati. Karena bagus atau butut bayarnya sama saja. Hidup tukang parkir itu sumarah dan sumeleh.
Terparkir kemewahan dia berucap, ini akan berlalu. Terparkir ketidak nyamanan dia juga berucap ini akan berlalu. Tukang parkir adalah contoh orang yang memandang kehidupan secara jernih dan utuh. Menyadari bukan miliknya dan diluar kuasanya. Maka mantranya tetap sama, ini akan berlalu.
Tukang parkir selalu menyuguhkan dengan senyum. Karena itu modal pelayanan terbaik yang bisa diberikan. Bisa jadi tukang parkir yang menjadi inspirasi Dewa 19 menyuguhkan lagu hadapi dengan senyuman. Begitu sang guru kehidupan menutup pembelajaran. Sambil sayup-sayup bersenandung;
Hadapi dengan senyuman
Semua yang terjadi biar terjadi
Hadapi dengan tenang jiwa
Semua kan baik-baik saja
Bila ketetapan Tuhan
Sudah ditetapkan
Tetaplah sudah
Tak ada yang bisa merubah
Dan takkan bisa berubah
Relakanlah saja ini
Bahwa semua yang terbaik
Terbaik untuk kita semua
Menyerahlah untuk menang
Sang guru tersenyum setelah menyenandungkan lagu Dewa 19 tersebut. Dengan tatapan teduh penuh kasih sayang. Menegaskan lagi pada sang murid " berikan ruang tumbuhnya keikhlasan. Niscaya kan kau temukan hakikat perjalanan hidup yang sekedar menjalani peran"
Desa Menari, 24 Januari 2023
Kang Tris
Murid Sekolah Kehidupan
Posting Komentar untuk "RUANG TUMBUH KEIKHLASAN "