SARANA KEGEMBIRAAN
Dunia semakin tua, begitu banyak orang bertutur. Masa tua tentu diidentikkan dengan panjangnya mengenyam asam garam kehidupan. Begitupun dunia, telah melampaui aneka masa yang semakin meneguhkan jalannya. Bahwa semua akan menua, menuju renta dan berujung pada kenangan. Kita tidak bisa memaksa kenangan apa yang akan diingat akan kehadiran kita. Tetapi kita bisa memilih, cerita apa yang akan kita sajikan dalam proses hidup. Karena itulah batas kenangan yang akan diingat oleh orang-orang dibelakang kita.
Kembali pada menuanya dunia, ternyata tidak sepenuhnya membawa pada pesan pada manusia, bahwa semakin tua semakin berisi. Glamornya dunia justru menyeret manusia pada bingkai kenakalan pepatah "tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi". Sebuah pesan yang nyaring berkumandang, banyak manusia yang kesana-kemari sibuk mencari kegembiraan meewati batasan.
Orang beranggapan bahwa kegembiraan adalah tanda bahagia. Pesta digelar di mana-mana untuk sekedar menyuguhkan kegembiraan. Setelah berada pada hingar bingar pesta, manusia akan sibuk membersihkan sampah yang menumpuk di jiwa. Diujung kelelahan dia bersandar pada sepi meresapi sunyi yang kembali menerpa. Angan belum sepenuhnya terpuaskan, tapi jiwa sudah meronta untuk meminta jeda.
Ketika mentari menunjukkan kesetiaan janjinya dipagi hari, membangunkan jiwa-jiwa yang kelelahan karena berburu kegembiraan. Diterpa lembutnya sinar pagi, jiwa itu bertanya pada nurani. Dimana sebenarnya kebahagiaan? Sudah kulalui ribuan pesta, tak kutemukan jua.
Pesan Masa Kanak-Kanak
Cahaya akan selalu menuntun pada kebeningan rasa. Teringat akan memori masa kanak-kanak. Bahagia yang tidak perlu banyak sarat dan sarana. Hampir semua orang pernah memasuki masa bahagia yang bernama masa kanak-kanak. Gede Prama mengingatkan " rumah kebahagiaan yang bernama kanak-kanak bercirikan canda, tawa, pelukan, persahabatan. Dengan sedikit cita-cita, harapan, keinginan, apalagi keserakahan, anak-anak termasuk jenis manusia yang terlalu mudah bahagia".
Membaca pesan masa kanak-kanak yang begitu mudah bahagia. Bisakah kita memetik sedikit sari patinya untuk bekal perjalanan kita. Anak-anak adalah pantulan curahan karunia dan rahmat Allah SWT disemesta. Karena rahmat-Nya lah yang menuntun anak-anak dapat menikmati, bahwa bahagia itu sederhana, tanpa tuntutan yang macam-macam. Ketika mereka meminta sesuatu pada orang tuanya dan memperoleh yang tidak sesuai, mereka ngambek sejenak. Tak begitu lama, mereka akan berdamai, menerima yang ada sehingga bahagia pun datang. Kalau ada anak yang ngambeknya berkepanjangan, justru itu karena orang tua yang terlalu memacu untuk segera menjadi remaja dan dewasa. Jadilah ada istilah, masa kanak-kanak yang terampas.
Manusia dewasa sering membanggakan diri, karena merekalah pengendali dunia. Padahal, mereka adalah manusia yang tersiksa oleh tuntutan-tuntutan. Sehingga mereka mencari pelarian untuk menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Berbagai klub hobi bermunculan untuk memuaskan rasa gembira. Bagi yang tidak puas, akan berlari pada ruang-ruang pesta. Kegalauan tetap melanda, mereka mencari bahagia pada miras dan narkoba. Mereka lupa bahwa kegembiraan itu ada pada relung hati yang mampu menerima.
Disinari oleh cahaya kebajikan, sudah selayaknya kita merenungkan firman Sang Pencipta " Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" ( QS. Yunus : 58)
Mari kita merenung dari ujung ayat terlebih dahulu. Apapun yang manusia usahakan dan kumpulkan tidak akan pernah lebih baik dari karunia Allah. Harta benda, kemewahan, pangkat, jabatan dan atribut duniawi lainnya tidak ada yang sebanding dengan rahmat-Nya. Contoh, ketika manusia sakit, mereka rela mengorbankan harta benda berapapun banyaknya, hanya agar dirinya sehat kembali. Diwaktu yang lain, dalam keadaan normal, tidak ada seorangpun yang merelakan tangannya dipotong walaupun dihargai uang milyaran rupiah.
Perumpamaan diatas, seharusnya sudah menyadarkan diri kita. Karunia Allah begitu melekat pada kita. Hembusan nafas, kelopak mata, daun telinga dan seluruh anggota tubuh kita adalah modal. Bukankah sering orang-orang kecil memandang hidup itu sederhana " modal awak waras " yang berarti bermodalkan badan sehat. Bermodalkan badan sehat mereka beraktivitas. Kita menemukan kebahagiaan mereka dengan sederhana. Bisa ngopi diwarung tenda, membantu tetangga yang memerlukan sudah membuat mereka bahagia.
Orang-orang kecil selayaknya anak-anak adalah tipikal manusia yang mudah gembira. Mereka adalah orang-orang yang betul-betul menjalani hidup saat ini dan disini. Sesok pikir keri ( besok pikir belakangan) begitu seloroh orang-orang kecil di gang-gang maupun desa-desa. Mereka tidak perlu didikte oleh standar manusia modern yang mensyaratkan banyak hal untuk bahagia. Mereka spontan menemukan kegembiraan pada yang ada seperti anak-anak.
Pura-Pura Bahagia
Manusia modern sering terjangkit penyakit pura-pura bahagia. Karena tolok ukurnya adalah orang lain, sehingga kebahagiaan adalah bentuk kompromi dari ketidakmampuan seperti orang lain. Makanya mereka pura-pura saja bahagianya, tidak sungguhan. Kepura-puraan inilah yang sering menggelapkan mata hati, bahwa rahmat Allah melingkupi semesta.
Manusia yang masih berpikir dikotomis ( pertentangan), maka yang ada adalah membandingkan. Bukankah perbandingan adalah permainan logika. Kita semua paham logika ada batasnya. Manusia perlu menyelam ke samudera rasa untuk menemukan hikmah disetiap peristiwa yang kelihatannya dikotomis. Karena disitu akan ditemukan karunia yang tersembunyi.
Contoh nyata akan hal diatas, terjadi disebuah desa di Jepara. Ada seseorang yang rumahnya tiap hari dilewati kotoran sapi dari peternak ditetangga desanya. Awalnya uring-uringan karena lingkungan rumahnya menjadi kumuh. Hingga suatu waktu muncul ide untuk menampung kotoran sapi yang dialirkan tersebut dipekarangan belakang rumahnya. Dia meminta ijin pada peternak untuk memanfaatkan kotoran sapi yang dibuang.
Dia membuat instalasi biogas dengan kapasitas besar. Dialirkan kotoran di bak penampung kemudian diolah menjadi gas. Akhirnya kebutuhan gas rumahnya tercukupi bahkan sisa. Selebihnya disalurkan pada rumah-rumah tetangganya. Limbah sisa biogas diolah menjadi pupuk organik dan dijual keberbagai wilayah. Awalnya masalah,tetapi ketika mengendap dalam kejernihan hati dapat rahmat Allah jadi berkah.
Belajar dari pengalaman tersebut, bukankah sebenarnya penting pengendapan rasa dan kejernihan pikiran, bahwa apapun bisa jadi pemantik turunnya rahmat. Tinggal bahan baku permasalahan ini bisa diolah atau tidak. Maka betul awal ayat QS. Yunus ayat 58 diatas. Bahwa karunia dan rahmat Allah itulah sarana kita bergembira. Lihatlah kedalam, maka akan kita temukan jawabannya. Jangan asyik melihat keluar, karena kita akan tersiksa dalam meme " pura-pura bahagia".
Wallahualam bish-shawab
Desa Menari, 17 Januari 2023
Kang Tris
Murid Sekolah Kehidupan
Terima kasih, Kang
BalasHapusSama-sama Bu Haji, semoga menjadi sarana belajar bersama
HapusTerimakasih Bapak Luar Biasa
HapusSama-sama belajar
Hapus