JEMBATAN KETULUSAN DALAM MENJALANI KEHIDUPAN
Ketika ketulusan menjadi jembatan, maka hati yang terserak akan terikat dalam persahabatan dan persaudaraan yang indah. Begitu gambaran untuk mengungkapkan kolase peristiwa yang lalu lalang dalam dinamika kehidupan. Contoh praktis kami alami dengan warga Tanon. Orang-orang sederhana dilereng gunung Telomoyo sisi timur. Dimana tempat ini sering mendapat kepercayaan untuk belajar berbagai komunitas.
Kalau berbicara fasilitas dan ragam kegiatan jangan ditanya. Amat sangat sederhana. Bahkan bisa jadi memunculkan kecurigaan bagi kalangan tertentu, jangan-jangan ini hanyalah polesan sesaat. Atau kalau kami berkegiatan disana nanti mengalami kesusahan. Bagi kalangan tertentu yang sudah kenyang dengan pemberitaan negatif hal ini wajar. Karena bertemu dengan orang-orang baru, apalagi masyarakat desa yang secara tata kehidupan berbeda.
Tapi kecurigaan itu bisa dijawab dengan proses lapangan. Orang desa itu hanya punya modal ketulusan dalam melayani. Sehingga mereka betul-betul mengejawantahkan petuah tuno sathak bathi sanak. Sebuah pesan bahwa mengalah untuk urusan materi dan turunannya. Tapi akan membuahkan hasil pertautan jiwa menjadi saudara. Ternyata persahabatan itu harus dibangun dalam ketulusan.
Dalam kesempatan lain, seorang sahabat yang sudah malang melintang belajar diberbagai tempat bertutur indah. Kenapa saya menemukan nuansa berbeda dalam kegiatan Sekolah Kehidupan. Materi berat menjadi ringan. Orang-orang yang datang mayoritas juga akan rindu untuk datang lagi. Setelah mengulik proses lebih dalam, sahabat ini membuat kesaksian bahwa ketulusan menjadi pengikat dalam "ruang" Sekolah Kehidupan.
Bagaimana orang yang beraneka ragam karakter, profesi, status sosial bisa terbalut indah dalam persahabatan. Mereka bersama-sama untuk belajar menjalani kehidupan. Meniti jalan untuk menjernihkan hati. Ketika manusia sudah banyak terkoyak oleh keruhnya pikiran. Mereka akan mencari apa yang bisa mengobati. Sempitnya penampang pikiran harus diluaskan dalam penampung hati. Karena hati adalah raja yang selama ini banyak dipingit, disembunyikan bahkan dipenjarakan oleh manusia-manusia itu sendiri. Maka hidupnya menjadi nggrangsang tak tahu arah. Jalannya terseok dalam noda lumpur kehidupan.
Sekolah Kehidupan menjadi oase yang dirindukan. Menjadi tempat berlabuh bagi jiwa-jiwa yang merindukan kemerdekaannya. Bukankah manusia akan menjadi merdeka justru ketika mereka betul-betul menjadi hamba. Manusia sering terpenjara pada wilayah perkiraan hasil. Padahal hasil adalah urusan Sang Pencipta bukan ranahnya hamba. Di Sekolah Kehidupan orang akan tersadarkan. Sehingga mereka bersama-sama belajar meniti jalan ridho.
Sahabat tadi bisa merasakan ketulusan saat mengikuti pembelajaran Sekolah Kehidupan. Dimana para perangkat pembelajaran dari penyampai materi, perangkat acara sampai dukungan dibalik layar para insan SKH dibalik layar. Betul kata para bijak, hanya hati yang tulus yang dapat menyapa hati yang lain. Wajah sumringah dan penuh keharuan menyatu dalam khazanah indah di Sekolah Kehidupan.
Para insan SKH (alumni Sekolah Kehidupan) juga sadar sepenuhnya bahwa pencerahan bukan untuk dimonopoli. Maka mereka berbagi, bergotongroyong untuk menghadirkan kelas-kelas Sekolah Kehidupan diberbagai wilayah. Pada dua tahun perjalanannya Sekolah Kehidupan telah merambah berbagai wilayah dengan jumlah alumni yang banyak tersebar. Mereka tidak sadar sedang membangun jembatan ketulusan untuk bersama-sama menjalani kehidupan yang lebih baik.
Para insan SKH sedang menjalani peran khalifatullah yang dilakukan secara bersama-sama atas dasar ketulusan. Berkah melebar dan meluber. Sehingga banyak kalangan yang pingin ngunduh Sekolah Kehidupan. Para pembelajar kehidupan ini bisa menjadi simpul-simpul penjernihan hati diberbagai wilayah dan lapisan kedepannya.
Sebagai bagian dari warga Tanon lereng Telomoyo dan juga murid Sekolah Kehidupan saya menemukan benang merah yang sama, yaitu ketulusan. Ketulusan ternyata sangat spiritual karena itu adalah spirit dalam beragama.
Dikutip dari kitab Washiyat Al- Musthafa yang disusun oleh Imam Asy Syaran ( Republika.Co.Id, 16-08-2021). Rasulullah SAW berwasiat kepada Ali bin Abi Thalib berkaitan ketulusan dalam beragama. "Wahai Ali, agama itu annashihah ( ketulusan niat) kepada Allah dan Rasul-Nya dan bagi orang mukmin". Makna annashihah dalam konteks wasiat ini ternyata bukan berarti nasihat atau pengajaran. Tetapi maknanya adalah ketulusan niat.
Maka jembatan ketulusan itu dibangun dari kejernihan hati, sehingga memunculkan niat yang tulus. Jembatan ini menghubungkan seorang hamba kepada Allah, Rasul dan hamba-hamba yang beriman lainnya. Betapa indahnya hidup yang terhubung dengan jembatan ketulusan. Sehingga hati saling bertaut dalam cakrawala yang memunculkan pelangi kehidupan yang mempesona. Selamat milad Sekolah Kehidupan, semoga Allah merahmati dan meridhoi langkah kita semua.
Posting Komentar untuk "JEMBATAN KETULUSAN DALAM MENJALANI KEHIDUPAN "