DUA SISI PISAU KEHIDUPAN

 


DUA SISI PISAU KEHIDUPAN

Tema obrolan kita sampai saat ini masih sama, tentang seputar potensi diri. Awal tertarik bidang ini tahun 2015 saya masih ogah-ogahan. Berpikirnya sangat sempit, kok duniawi banget sih urusannya. Mengenali bakat,  mengoptimalkan dan akhirnya sukses dalam kehidupan. Ukurannya tentu duniawi, karena kita masih tinggal di dunia, pikir saya saat itu. Sehingga ilmu ini saya abaikan, termasuk mengasah bakat yang sudah terpetakan pada diri saya. Sudah ngerti saya bakat disitu, tapi karena tidak diasah ya seperti pisau tumpul. Saya lebih tertarik untuk belajar yang kaitannya pertumbuhan spiritual.

Lika liku perjalanan, menuntun saya bertemu dengan banyak guru. Berbagai ruang pembelajaran ikut menempa diri. Sampai pasca covid saya bertemu dengan sekolah kehidupan. Saya merasa nyaman dengan pola pengajaran yang rasional. Sesuai dengan sumber motivasi bawaan saya dari hasil pemetaan bakat, yaitu tipe kognitif. Dimana orang tipe kognitif senantiasa mengedepankan penjelasan yang masuk akal, karena merespon pertama kali peristiwa ataupun informasi dengan pikiran. Alur pembelajaran saya ikuti. Sampai pada satu fase Pak Guru menyampaikan tentang permainan kehidupan. Salah satunya adalah menjalankan peran sebagai sarana menjalani kehidupan. Berspiritual itu tidak anti dan meninggalkan urusan dunia ringkasnya. Bahkan itu bisa sebagai bagian jalan berspiritual.

Pekan lalu saya dipertemukan kembali dengan pakar dan praktisi bakat yang mengajari saya sebelumnya. Pada sesi akhir perjumpaan beliau bertutur. "Mengenali bakat juga sangat spiritual mas. Karena kita mengenali fitrah penciptaan kita, mengoptimalkan fitrah yang sebenarnya salah satu alur tentang peran apa yang harus kita ambil dalam kehidupan. Hal ini adalah langkah untuk memaksimalkan peran kekhalifahan seseorang". Seperti tersengat lebah saya baru tersadar. Akhirnya saya belajar menggali lagi. Terlebih setelah sadar bangsa kita dianugerahi SDA yang melimpah. Namun SDM belum terarah dengan jelas, karena banyak yang belum mengetahui bahan yang diinstal dalam dirinya.

Mengenal potensi diri ibarat mengenal dua sisi pisau kehidupan. Karena setiap manusia dianugerahi kelebihan dan kekurangan sebagai pasangan kehidupan. Logikanya berarti kita diminta untuk mengasah sisi kelebihan. Sekaligus menerima sisi kekurangan sebagai bagian diri. Kekurangan kita adalah ruang untuk diisi oleh kelebihan orang lain.

Lebih khusus Allah memerintahkan kita untuk bekerja atau beramal. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. At-taubah : 105 "Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".

Lantas apa kaitannya bekerja atau beramal dengan kelebihan dan kekurangan. Menurut Buya Hamka dalam tafsirnya Al Azhar, surat At-Taubah ayat 105 ini berhubungan dengan surat Al Israa' ayat  84 yang artinya "Katakanlah: tiap-tiap orang beramal menurut bakatnya, tetapi Tuhan engkau lebih mengetahui siapakah yang lebih mendapat petunjuk dalam perjalanannya".

Berangkat dari kerangka berpikir diatas tentang analogi pisau bagi potensi bawaan kita. Sisi tajam pisau adalah bakat atau kekuatan alami, sedangkan sisi tumpul adalah kekurangan kita. Kalau pisau jelas yang kita asah adalah sisi tajam. Tapi bagaimana dengan kehidupan kita selama ini? 

Banyak dari kita justru terjebak untuk mengasah sisi tumpul atau kekurangan kita. Harapannya tentu jelas kekurangan bisa terasah menjadi kekuatan kita. Contoh praktis dalam kehidupan adalah tentang nilai sekolah anak-anak kita. Taruhlah nilai bahasa 8,5 kemudian matematika 4. Maka orang tua kebanyakan akan mengikutkan lest matematika. Harapannya nilai matematika akan mengejar nilai bahasa. Misalnya itupun berhasil akan butuh waktu lama, biaya besar dan beban psikologis yang berat juga. Jelas sisi tajam anak kita adalah bahasa, sedangkan matematika adalah sisi tumpul. Ini bisa dikembangkan dalam contoh-contoh lainnya.

Pertanyaannya, efektifkah kita mengasah sisi tumpul (kekurangan) kita, sedangkan sisi tajam ( bakat) dibiarkan begitu saja. Sama-sama melakukan hal yang sama dengan durasi waktu yang sama, orang berbakat dengan tidak pasti hasilnya berbeda. Orang berbakat salah satu cirinya cukup dengan sedikit usaha lebih hasilnya diatas rata-rata. Sedangkan orang yang tidak berbakat, usaha extra dan maksimal hasilnya paling mentok sampai prestasi rata-rata saja. Masihkah hal seperti ini akan kita teruskan? Bahasa anak kekinian, hai insyaf coy hehehe.

Tugas kita dalam memainkan peran dua sisi kehidupan adalah menempatkan pada proporsi yang benar. Asah bakat ( keunggulan) untuk kemudian mengambil peran kehidupan. Berlomba-lomba dalam kebaikan melalui sisi unggul kita. Disisi lain terima kekurangan kita untuk menunjukkan sisi manusiawi kita sebagai hamba. Biarkan kekurangan kita diisi oleh kelebihan orang lain. Itulah salah satu landasan kenapa manusia itu harus bermasyarakat atau berjamaah. Coba kalau kita tidak diberikan kekurangan. Kita tidak butuh orang lain karena serba bisa. Awal-awal sih oke. Tapi lambat laun akan galau, stress dan bisa depresi. Karena memang fitrahnya manusia bersama, sendiri itu tidak asyik coy hehehe.


Wallahu a'lamu bish-Showab

Desa Menari, 14 April 2023

Kang Tris

Pembelajar Kehidupan & Tallents Mapping Provider


1 komentar untuk "DUA SISI PISAU KEHIDUPAN"