EGO ORANG TUA DALAM PENGASUHAN

 EGO ORANG TUA DALAM PENGASUHAN

Masih tentang hasil ngobrol sersan (serius santai) pengasuhan. Mengulas hasil pemetaan potensi bawaan. Senyum  dan usilnya si anak dengan menyenggol pundak ibunya menggelitik saya. Rupanya si ibu mulai menyadari kekeliruan selama ini. Anak dipaksa untuk menuruti keinginan atau ego orang tua. Bukan happy yang diperoleh. Namun ngeyelnya si anak yang bisa jadi itu bentuk ketidak setujuan.

Ego orang tua. Yah, begitulah gejala umum yang sering tidak disadari. Memaksakan kehendak pada anak. Termasuk menganggap pengetahuan sebagai orang tua pasti benar. Padahal, orang tua adalah produk dari pengasuhan dari orang tuanya. Begitu seterusnya ke atas.

Perlu keberanian untuk mengoreksi diri. Karena setiap anak punya zamannya. Ada hal berbeda dan tantangan yang tidak sama antara orang tua dan anak. Maka, orang tua juga harus terus belajar. Jangan sampai pengetahuan yang cupet dan belum tentu benar menjadi blunder pengasuhan.

Salah satu contoh ego orang tua adalah menganggap belajar yang benar itu seperti caranya. Contoh kasus keluarga yang datang ke kami untuk pemetaan potensi bawaan. Hanya karena melihat anak belajar sambil mendengarkan musik pakai headset. Orang tua menjadi meradang. Menganggap anaknya malas belajar. 

Ketika melihat hasil raport anak. Si ibu juga tidak percaya, benar kah itu. Padahal jelas-jelas anaknya berprestasi.  Apalagi kalau nilai anak drop, orang tua semakin punya alasan untuk memarahi anak. Terlebih si cantik yang berprestasi  ini kegemarannya baca novel. Bukan belajar buku-buku pelajaran.

Dari hasil pemetaan potensi bawaan yang kami lakukan. Ternyata gaya belajar si anak ini adalah visual teks dan auditori musikal. Lantas kami jelaskan panjang lebar apa itu dua gaya belajar tersebut. Termasuk bagaimana orang tipe ini dalam proses menyerap informasi. Jadi hasil tes ini sama persis dengan perilaku anak saat belajar.

Terbukti anak ini berprestasi, meskipun dianggap tidak belajar oleh orang tuanya. Sepasang suami istri ini akhirnya menyadari. Mereka telah salah menilai anak. Bersikap salah juga pada anak. Bersyukurlah mereka karena belum terlambat.

Bener-bener bejo, karena kedua putrinya memiliki sumber motivasi bawaan kognitif. Jadi tidak mudah sakit hati. Hanya kompensasinya jadi ngeyelan. Karena anak tipe ini senantiasa memerlukan alasan rasional. Mereka bisa kecewa sesaat. Tapi setelah menemukan alasan logisnya. Hilang sudah ngambegnya.

Coba, kalau kedua putrinya adalah anak afektif. Bisa baper terus si anak. Bahkan kalau keterusan bisa mogok belajar. Saya mengamati gestur si anak dan mencermati cerita ibunya. Saya hanya mbatin, kalau anak afektif pasti sudah banyak luka jiwa yang tertanam. Butuh proses terapi yang tidak bisa sekaligus. 

Kemudian, kami lanjutkan obrolan tentang bagaimana si anak harus membuat target tertulis. Karena anak kognitif ya beginilah salah satu caranya. Tugas orang tua adalah mengawal dan mengingatkan si anak melalui target tertulisnya.

Kami lihat si anak terlihat lebih plong. Merasa mereka menemukan momentum untuk menyadarkan orang tuanya. Orang tua juga jadi melunak dan menyadari kesalahannya. Termasuk kami obrolkan cara merevisi doa. Loh kok doa pakai di revisi segala. Tenang, kita obrolkan berikutnya ya.

Betapa kita harus sama-sama sadar. Ego orang tua dalam pengasuhan bisa berakibat fatal. Bisa jadi, orang tua yang egois lah sebenarnya penyumbang tumpulnya potensi anak. Maka, mengenali potensi dan karakter dasar anak ini penting dipelajari. Orang tua juga harus terus belajar. Agar generasi berikutnya menjadi lebih baik. Karena kalau orang tua mentradisikan kebaikan. Itu akan membekas ke anak. Mereka akan mewariskan kebaikan pada anaknya kelak. Inilah salah satu jalan perbaikan, menata ulang ego orang tua. Selamat belajar para orang tua hebat.


Wallahu A'lamu Bish-Showab

Desa Menari, 30 Mei 2023

Kang Tris DM

Pendiri LPSDI Win Solution & Fasilitator Pemetaan Bakat


Posting Komentar untuk "EGO ORANG TUA DALAM PENGASUHAN"