STOP MENGHAKIMI ANAK


 

STOP MENGHAKIMI ANAK

Sahabat lama datang ke rumah. Kangen tentunya, lama ndak ngopi dirumah. Memang suasana pedesaan yang sunyi kadang bikin kangen. Ini mungkin tercermin dari kediaman kami di Desa Menari.

Setelah menyeruput kopi yang istri saya hidangkan. Sahabat tersebut mulai menanyakan teman-teman lama yang masih sering berkomunikasi. Ini adalah cara kami untuk tetap menjaga persahabatan. Dan pastinya ini cara anda juga dong hehehe.

Rembugan santai ini berubah agak serius. Dia menyampaikan problem anaknya yang menjadi pemurung. Sekarang anaknya pendiam dan apatis. Ditanya jawabnya hanya satu dua tanpa ekspresi. Bahkan sekarang sangat sulit untuk tersenyum.

Di sekolah juga seperti itu. Guru dan teman-temannya sampai berusaha untuk membuat anaknya tersenyum. Hingga suatu hari teman-teman sekelasnya pada patungan untuk memberikan hadiah tas. Diminta maju saat menerima dan itulah saat senyumnya merekah.

Gurunya sampai memberikan laporan kepada dirinya lewat WA. Ada teman anaknya yang terharu dan menitikkan air mata. Melihat anaknya tersenyum teman-temannya pada gembira. 

Momen bahagia ini beliau bagi kepada teman-temannya. Ada respon beragam dari temannya. Satu temannya agak nyeleneh. Nyeletuk "kalau itu anak saya, sampai rumah saya hajar. Bikin malu orang tua. Kayak orang tuanya tidak mampu membelikan tas".

Dia hanya menanggapi tersenyum pernyataan temannya. Dengan nada lebih rendah dia bilang "ya ndak apa-apa toh, itu kan bentuk perhatian teman-temannya".

Dari dialog sahabat saya dengan temannya ini apa yang bisa kita pelajari? Ego orang tua. Yes, orang tua sering lebih mementingkan egonya. Harga dirinya jauh lebih penting daripada rasa nyaman anak. 

Kita juga sering mendapati orang tua yang dengan mudahnya membentak anaknya didepan khalayak. Hanya karena egonya yang merasa sebagai orang yang mampu terserang. Anaknya merengek minta sesuatu yang dianggap sepele. 

Seolah ketika anaknya diam setelah dibentak itu selesai. Dia tidak sadar, bahwa luka jiwa si anak akan menjadi bumerang bagi dirinya kelak. Entah si anak menjadi menarik diri. Ataupun meluapkan kemarahan dengan perilaku menyimpang.

Menghakimi anak sebagai anak yang tidak penurut. Susah diomongi, bikin malu dan sebagainya adalah tanaman luka pada pertumbuhan jiwa anak. Ini adalah problem anak-anak mengasuh anak yang jamak terjadi. Ada luka jiwa yang juga belum sembuh disisi orang tua.

Maka, belajarlah menerima. Menerima kondisi anak apapun jauh lebih menyembuhkan untuk dirinya. Juga membuat anak bahagia. Kedua tentu mengawal dengan doa. Ini mungkin klise, tapi begitulah seharusnya. 

Jangan hanya sibuk memberi makanan bernutrisi. Tapi lupa memberikan asupan kasih sayang dan doa bagi anak-anaknya. Jiwa itu mudah sekali menerima vibrasi. Kasih sayang dan doa  vibrasinya sangat positif.

Berikutnya, orang tua perlu belajar blue print anak. Potensi bawaan mengajarkan pada kita tentang banyak hal. Diantaranya adalah bagaimana kita berkomunikasi yang tepat. Termasuk juga sikap yang tepat sesuai karakter anak. 

Orang tua harus belajar dan terus belajar. Termasuk menurunkan ego. Menyamakan frekuensi pengasuhan dengan memahami peta potensi bawaan. Agar kita tidak salah langkah. Niat baik yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat hasilnya sering mengecewakan.


Wallahu A'lamu Bish-Showab

Desa Menari, 14 Mei 2023

Kang Tris DM

Fasilitator Pemetaan Bakat & Pembelajar Kehidupan

Posting Komentar untuk "STOP MENGHAKIMI ANAK"