BEDA NASIB DENGAN BAMBANG PAMUNGKAS

 



BEDA NASIB DENGAN BAMBANG PAMUNGKAS

Seorang Ibu paruh baya mengantarkan anaknya untuk melakukan tes potensi bawaan ketempat kami. Bu Ulvi begitu beliau biasa disapa. Tentunya disela-sela proses ngobrol kami manfaatkan kesempatan untuk mengenalkan lebih jauh tentang apa itu potensi bawaan. Beliau tertarik untuk melakukan pemetaan potensi bawaan setelah diskusi intensif dengan putrinya yang menginjak semester lima. Si anak juga merasa perlu untuk mengetahui dia berbakat dalam bidang apa. Tentunya kami sampaiakan bahwa potensi bawaan bukan sekedar bakat saja. Beberapa aspek dasar lainnya juga akan terlihat dari hasil pemetaan.

Saya menyampaikan hal yang sering diulang dalam sesi diskusi, yaitu tentang dua sisi kehidupan. Manusia dibekali sisi unggul sekaligus sisi lemah. Namun sering orang salah langkah. Mereka lebih focus mengolah sisi lemah untuk menonjol menjadi sisi unggul. Usaha ini adalah seperti mengasah sisi tumpul pisau, namun membiarkan sisi tajamnya. Buang-buang waktu, biaya, tenaga dan berbagai kesempatan lainnya.

Obrolan kami berlanjut pada contoh umum yang sering kami sampaikan sekaligus mudah dicerna. Yaitu tentang orang yang belajar di klub sepak bola. Sama-sama belajar pada pelatih yang sama, waktu belajar juga sama, menu latihan tidak berbeda. Kenapa hasilnya bisa berbeda. Ternyata perbedaannya adalah pada berbakat atau tidak. Orang berbakat sepak bola akan lebih menonjol dan hasilnya diatas rata-rata.

Bu Ulvi kemudian nyeletuk, wah betul itu kang tris. Kok bisa pas banget dengan pengalaman yang saya alami. Pengalaman apa Bu,Tanya saya tidak sabar. Beliau kemudian melanjutkan, bahwa dulu punya langganan angkot di daerah Ambarawa. Karena sudah jadi langganan, hubungan dengan sopir menjadi mencair. Hal-hal sederhana tentunya bisa menjadi bahan obrolan untuk memecah kebisuan.

Mbak, percaya ndak kalau saya ini temannya Bambang Pamungkas, celetuk si Sopir pada satu waktu. Bambang Pamungkas siapa pak,tanya Bu Ulvi. Yah, Bambang Pamungkas pemain bola nasional itu. Yang iklannya sering muncul di televise itu. Ah masak sih pak? Sergah Bu Ulvi seoalah tak percaya. Betul mbak, masak sih saya bohong. Kami dulu sama-sama belajar di klub sepak bola. Hanya nasib yang berkata lain, lanjut pak Sopir. Dia jadi pemain bola beneran dan bayaran, saya jadi pemain bola yang wurung (gagal) hehehe.

Bambang Pamungkas memang sudah menonjol dibanding teman-teman klub yang lain, lanjut Pak Sopir. Meski kelihatannya latihannya biasa saja tapi kemampuannya melebihi kami. Sehingga ketika event tanding Bambang Pamungkas selalu diterjunkan. Mungkin itu yang disebut bakat ya mbak, lanjut pak Sopir sambil melirik kaca spion tengah. Dia menjadi primadona diantara teman-teman klubnya.

Kenapa bapak sekarang jadi sopir? Seolah Bu Ulvi ingin mendapatkan kebenaran lebih lanjut. Pak sopir menghentikan kendaraan, menunggu penumpang lain turun, tidak langsung menjawab pertanyaan. Setelah menerima uang pembayaran, pak sopir tersenyum dan melanjutkan laju kendaraan. Saya berkali-kali sudah ikut tanding juga mbak. Pak sopir seolah ingin memuaskan rasa penasaran penumpang langganannya. Cuma, itu juga masih sebatas pertandingan uji coba. Sedangkan ketika ada seleksi untuk ikut klub bola profesioanl, tidak lolos terus.

Lambat laun semangat saya jadi menurun mbak. Saya berpikir, tidak mungkin bertahan seperti ini terus. Kebutuhan sehari-hari juga harus terus berjalan. Akhirnya saya berhenti berlatih dan memilih bekerja apa saja yang penting halal. Setelah gonta-ganti pekerjaan, saya akrinya bekerja di atas aspal ini. Mulai dari kernet, dan latihan menyopir. Sampai akhirnya sama juragan angkot saya dipercaya untuk bawa armada sendiri.

Setelah selesai menceritakan kisah tersebut, Bu Ulvi dan putrinya semakin yakin tentang pentingnya pengenalan potensi bawaan. Sambil menunggu hasil kami lanjutkan obrolan seputar pengasuhan berbasis potensi bawaan. Bagaimana juga kaitannya pemilihan jurusan pendidikan yang sesuai potensi bawaan. Penempatan posisi serta pemilihan karier berbasis pemetaan bawaan. Hingga wirausaha berbasis potensi bawaan.

Beliau juga sekilas menceritakan anak pertamanya yang sangat lihai dalam berdagang. Seolah apapun bisa menjadi sesuatu yang dijua dan berubah menjadi uang. Kebetulan kami habis memperkenalkan anak ketiga yang masih kelas dua SD, tapi sudah lihai berdagang. Beliau benar-benar memahami jadinya, bahwa bakat itu segaris dengan jalur rejeki. Saya mengiyakan, dengan menambahkan. Asalkan bakat itu terdeteksi dan bisa diubah menjadi kekuatan. Menemukan pembimbing yang tepat, proses yang konsisten dan momentum yang pas. Masihkah ada diantara kita yang bernasib sama dengan sopir angkot diatas?

Posting Komentar untuk "BEDA NASIB DENGAN BAMBANG PAMUNGKAS"