CUBLAK-CUBLAK SUWENG, PROSES MENUJU KEBAHAGIAAN
"Cublak-cublak suweng, suwenge ting gelenter, mambu ketundung gudel, Pak Empo lirak lirik, sapa guyu ndhelikakke, sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong".
Begitu bait lagu pada permainan cublak-cublak suweng. Dolanan ini sudah berumur sangat lama. Cublak-cublak suweng diciptakan pada tahun 1442 M oleh Sunan Giri, salah satu Wali Songo yang termasyur.
Beliau menciptakan lagu ini sebagai media pembelajaran dan dakwah. Sunan Giri dikenal sebagai wali yang berdakwah melalui pendekatan kebudayaan.
Lantas apa yang bisa kita petik pembelajaran dari dolanan cublak-cublak suweng? Mari kita mengacu pada syair lagu dolanan ini.
1. Tujuan Berharga
Pak Empo yang menjadi pemain pencari dimana letak berharga. Akan berusaha sekuat tenaga untuk menebak dimana lokasinya. Diantara kerumunan teman-temannya, pasti ada salah satu yang membawa. Meski penuh ketidak pastian Pak Empo harus menentukan pilihan.
Cublak suweng merupakan perlambang letak tempat berharga. Suweng dalam bahasa Jawa berarti anting. Perhiasan yang biasa dipakai anak perempuan.
Suweng secara filosofis bisa bermakna ; sepi, suwung atau kosong dan sejati. Seseorang harus menemukan dimana kesejatian hidup itu.
Dalam pencarian makna sejati kehidupan, dia akan dikacaukan oleh berbagai gangguan. Ketika gagal dalam tahap awal, maka dia harus menjalani proses kembali.
Disini diperlukan kegigihan menjalani proses. Karena waktu yang diperlukan untuk menemukan "suweng" atau kesejatian hidup bisa sangat panjang. Ketika menyerah ditengah jalan, dia akan terjebak pada kebingungan dan kebuntuan hidup.
2. Tempat berharga disekitar manusia
Pada untaian lagu selanjutnya "suwenge ting gelenter" bermakna suweng yang berserakan. Artinya letak kesejatian hidup itu sebenarnya ada disekitar manusia itu sendiri.
Kebahagian yang merupakan harta berharga, sangat dekat dengan dirinya. Namun manusia masih sering terjebak pada hal yang terlihat jauh di pelupuk mata. Seolah kebahagian itu punya mereka, bukan ada pada kita.
Maka manusia harus mawas diri dan sadar diri. Bahwa kebahagian itu pancernya ada pada diri sendiri. Semakin sibuk mencari hal-hal diluar diri, akan jauh dari kebahagiaan.
3. Kebodohan yang tidak disadari
Pada bait selanjutnya kita belajar tentang "mambu ketundung gudhel". Maknanya bau yang dituju oleh anak kerbau. Anak kerbau atau gudel adalah simbol kebodohan.
Aroma kebahagiaan senantiasa mencuri perhatian banyak orang. Orang bodoh ( disimbolkan gudhel) mencari kebahagiaan pada apa yang tampak. Harta, jabatan dan aksesoris duniawi diburu dengan cara-cara yang tidak benar.
Ternyata ketika simbol-simbol yang disangka kebahagiaan itu diperoleh. Kebahagiaan juga tak kunjung dapat. Hanya kegembiraan sesaat yang bersifat semu.
4. Terjebak kebahagiaan semu
"Pak empo lirak-lirik". Pak Empo yang dimaksud adalah orang tua yang telah ompong. Masih menengok kekanan dan kekiri, seperti orang yang terjebak dalam kebingungan.
Semakin banyak harta benda dan asesoris duniawi terkumpul, justru hidupnya semakin bingung. Dia masih mencari, dimana letak kebahagiaan itu.
Pak Empo bisa jadi adalah diri kita sendiri. Karena dikuasai nafsu, hidupnya menjadi serakah. Orang tua (pak) harusnya sudah mencapai titik kedewasaan. Tapi karena nafsu yang menyelubungi justru malah menjadikan ompong atau jauh dari kebijaksanaan.
5. Berproses menuju kebijaksanaan
Penggalan syair selanjutnya yaitu "sapa guyu dhelikkake". Orang yang tertawa (guyu) justru yang bisa menyembunyikan. Dia tidak terjebak lagi pada keserakahan. Tidak pula mencari apa yang ada diluar.
Kebahagiaan akan dirasakan oleh orang yang mencapai kebijaksanaan. Mereka telah bisa tersenyum melihat dinamika kehidupan. Hal ini menandakan jiwa yang telah menunduk atau semeleh.
Berbagai proses kehidupan menjadi pijakan kedewasaan. Kematangan jiwa mengkristal dalam perilaku yang tidak lagi dikendalikan oleh hal-hal di luar diri. Menep begitu orang Jawa menyebutnya.
6. Kebahagiaan itu bermula dari dalam diri
Penggalan penutup pada lagu cublak suweng adalah "sir-sir pong dele kopong". Disini letak kebahagiaan sejati itu bersembunyi. Di dalam sir atau hati nurani.
Teryata kebahagian sejati (cublak suweng) itu tidak dimana-mana. Adanya di kedalaman diri yang disebut hati nurani. Kesana kemari kita mencari, kalau tidak menyapa hati nurani juga tidak akan bertemu kebahagiaan.
Syaratnya adalah dele kopong atau mengosongkan keterikatan dan ketergantungan pada hal duniawi. Karena kecintaan yang berlebih pada duniawi akan menggelapkan hati nurani.
Hati nurani hanya bisa bersinar karena nur Ilahi atau cahaya keTuhanan. Maka sir itu akan menguat karena dekatnya dengan Tuhan. Makna lebih lanjut,hati nurani harus berisi kesejatian hidup yaitu Tuhan.
Proses penghambaan yang benar kepada Tuhan dan konsisten akan membuka gerbang kebahagiaan. Pada fase ini dunia dan segala isinya adalah sebatas sarana. Lebih dalam lagi menjadikan setiap sarana sebagai langkah mendekati-Nya.
Untuk memasuki gerbang kebahagiaan, harus terus berproses membersihkan hati nurani. Salah satu caranya adalah dengan merubah sudut pandang. Menjadikan setiap kejadian yang dialami sebagai sarana mendekat kepada Allah.
Lambat laun orang akan terbebas dari kebodohan. Tidak mudah gumunan pada hal duniawi. Langkah ini akan mencerdaskannya. Bahwa kebahagiaan yang dicari itu "onone neng kene". Seraya dengan senyum penuh ketulusan meletakkan tangan di atas dada. Neng kene berarti di hati dan jiwa yang pasrah (sumeleh).
Desa Menari, 26 Juli 2023
Kang Tris DM
Pembelajar Kehidupan
Posting Komentar untuk "CUBLAK-CUBLAK SUWENG, PROSES MENUJU KEBAHAGIAAN"