DESA WISATA NYATANYA DAN KATANYA

 

Foto saat diskusi desa wisata di pantai Kertosari, Ulujami, Pemalang


DESA WISATA KATANYA DAN NYATANYA

Berbicara desa wisata selalu menarik dalam kerangka pemberdayaan. Terlebih pada beberapa tahun belakangan, desa wisata seperti gadis cantik yang banyak dibicarakan. Bahkan tak segan ada yang nekat melakukan pdkt.

Banyak desa kemudian berusaha untuk bermetamorfosis menjadi desa wisata. Hal ini tidak bisa disalahkan, mengingat cerita keberhasilan desa-desa wisata yang banyak digaungkan. Sebut saja desa Dieng Kulon, Panglipuran, Nglanggran, Ponggok, Pujon Kidul dan sebagainya.

Desa-desa tersebut sukses menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat. Selain dari pundi-pundi ekonomi, penataan infrastruktur dan kesejahteraan sosial. Desa wisata diatas mampu melekatkan branding-nya dikancah nasional bahkan global.

Siapa yang tidak kepingin seperti kisah-kisah desa wisata diatas. Maka, pemangku kebijakan dari pusat sampai daerah mendorong tumbuhnya desa-desa wisata. Berbagai upaya top down dilakukan untuk memberikan wawasan tentang potensi dan peluang desa wisata.

Tak heran apabila banyak pemerintah desa yang tertarik. Desa wisata yang organik bermetamerfosis menjadi program skala prioritas pemerintah. Berbagai kebijakan politik anggaran juga digulirkan guna mendukung tumbuh kembangnya desa wisata.

Kerangka berpikir dalam kebijakan makro seperti ini tidak bisa disalahkan. Mengingat, desa wisata memang menjadi generator pertumbuhan ekonomi yang cukup efektif. Penyerapan anggaran lintas sektor juga cukup tinggi dalam mewujudkan sebuah 'desa wisata'.

Permasalahan yang muncul justru dilini bawah. Banyak pemangku kebijakan desa yang menginginkan desanya menjadi desa wisata. Terutama kalau kita lihat di Jawa Tengah. Skala lebih kecil lagi pada tingkat Kabupaten Semarang. Keinginan yang tanpa dilandasi kerangka berpikir yang benar tentang desa wisata.

Jadilah desa wisata bak jamur dimusim penghujan. Merebak dimana-mana bermunculan desa wisata. Secara kasat mata, langkah pemerintah desa adalah merespon kebijakan anggaran yang dijanjikan. Soal adanya kelatahan itu faktor lain lagi.

Maka banyak kita temukan embrio desa wisata. Bagus sih dalam sudut pandang branding. Namun, beranikah para pemangku kebijakan yang sudah mendapatkan stempel desa wisata melakukan refleksi. Tempat saya ini kategori desa wisata katanya atau nyatanya.

Desa wisata katanya ini bergaung dalam nama dan uforia. Tapi faktanya, paket wisata kadang masih bingung, bahkan ada yang belum punya. Lebih lanjut, sebagai desa wisata, sudahkah desa kami dikunjungi wisatawan. Kearifan lokal apa yang disuguhkan. Ataukah masih sebatas terjebak pada konsep wisata desa yang berkompetisi dengan destinasi wisata yang ada.

Kalau kondisinya seperti diatas, maka segeralah melakukan pertobatan dan perbaikan. Karena, desa wisata katanya ini lambat laun justru akan menjadi beban. Alih-alih kesejahteraan, justru konflik sosial dan kelembagaan yang bisa jadi PR masa depan.

Sedangkan desa wisata nyatanya ini memang berdasarkan fakta lapangan. Desa wisata yang tumbuh secara organik dan memiliki pondasi berupa visi yang kuat. Paket wisata ada dan bertumbuh. Tentunya telah dirasakan paketnya oleh para wisatawan yang berkunjung. Soal besar kecil pendapatan desa wisata itu tidak bisa disamakan. Karena kembali pada prinsip, kekuatan dan manajemen lokal masing-masing desa wisata.

Desa wisata nyatanya adalah berkah yang terlimpah. Bisa jadi kecil dimata panggung sosial. Namun faktanya memberikan dampak ekonomi dan sosial yang bisa dirasakan. Seperti kisah perlombaan siput dengan kancil. Siput lambat tapi fokus dan konsisten, ternyata keluar sebagai pemenang. 

Fenomena di lapangan ada desa wisata nyatanya yang memilih peran siput, tampak sebagai rintisan tapi juara dalam perlombaan dan kenyaataan. Contohnya ini bisa dilihat pada Desa Wisata Gemawang, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang, yang keluar sebagai juara desa wisata rintisan pada even desa wisata berdikari 2024 tingkat kabupaten Semarang. Padahal inilah desa wisata pionir di Kabupaten Semarang sejak tahun 2010 dan eksis hingga saat ini.


Tanon, 14 Desember 2024

Kang Tris DM

Marbot Desa Menari


Posting Komentar untuk "DESA WISATA NYATANYA DAN KATANYA"